Sabtu, 09 Maret 2013

Chapter 9 part 2

Chapter 9 part 2
My Memories.. Is it mine?
Disampingku berdiri seorang gadis. Ia mengenakan kacamata dan rambut pirangnya ia biarkan terurai. Ia mengenakan baju terusan berwarna hitam dan dilapis jaket berwarna putih. Wajahnya dihiasi make up sederhana tapi tetap tidak mampu menyembunyikan warna pucat kulitnya.

"Baru kali ini aku bisa membuatmu terkejut, tezu," ujarnya sambil tertawa geli.

"Kamu siapa?" tanyaku.

"Aku siapa? Jangan bilang kamu lupa padaku, tezu," matanya yang hijau nampak berkilat saat bertanya padaku.

Belum sempat aku menjawab, gadis itu kembali berkata sambil menepuk dahinya, "aduh, bodohnya aku, tentu saja kamu ga ingat. Setelah mengalami hal seperti itu, hilang ingatan pasti wajar."

"Apa maksudmu?"

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita ulang perkenalan kita," tanpa mengindahkan pertanyaanku, gadis itu mengulurkan tangannya.

"Namaku Jyesta, charku adalah seorang Dream Weaver, atau disebut Perajut Mimpi"

Aku menyambut uluran tangannya. Tangannya sangat dingin seperti es.

"Namaku tez..." aku terdiam lalu melanjutkan "ah, tapi kan kamu dah tau siapa aku."

Jyesta kembali tertawa kecil.

Aku lalu menyadari sesuatu, "kenapa kamu bisa ada disini? Aku ini dimana?" tanyaku.

"Ini dunia mimpi, kamu ga sadarkan diri dan sampai disini. Karena aku seorang Perajut Mimpi,  maka daerah kekuasaanku adalah mimpi," ia lalu meletakkan jari di dagunya, "walau ada beberapa mimpi yang begitu gelap dan tidak berani kumasuki. Tapi hampir semua mimpi bisa kumasuki," ujarnya sambil merentangkan kedua tangannya.

"Kamu sendiri yang bilang, aku harus buat char yang unik, kan tez," matanya berbinar sambil menatapku.

"Memangnya aku bilang begitu?" ujarku ragu-ragu

"Haaah?" Jyesta terlihat kaget. "Bahkan hal itu pun kamu lupa?"

Jyesta tampak berpikir. Ia menatapku tanpa berkedip.
Ditatap seperti itu tentu saja membuatku risih. Tanpa sadar aku mengalihkan pandangan dari dirinya.

Ia lalu bergumam sendiri dan mengangkat tangannya. Dalam sekejap ruangan putih tempat kami berada berubah menjadi sebuah ruangan lain.
Kami lalu berada disebuah ruangan dengan meja kerja berwarna coklat tua dan kursi hitam di tengah ruangan. Warna pastel tampak menghiasi dinding. Terdapat sebuah lemari besar di masing-masing sisi ruangan. Kedua lemari itu penuh berisi bermacam buku.

"Ini dimana?" tanyaku.

"Ini.. adalah salah satu kenangan yang aku punya tentang kehidupan dunia nyata kita, Tezu," ujar Jyesta. Sorot matanya menyiratkan kesedihan saat mengucapkan hal itu. "Mungkin ini bisa membantumu mengingat beberapa hal," sambungnya.

Saat menatap ruangan itu, entah kenapa ada perasaan rindu. Padahal aku yakin kalau aku tidak pernah datang bahkan melihat ruangan ini sebelumnya.

Aku melangkah mendekati meja kerja yang ada di tengah ruangan. Entah kenapa tapi aku merasa ada sesuatu yang harus kuperiksa di meja itu.

Diatas meja kerja itu, terdapat sebuah kotak berwarna hitam. Saat aku amati, ternyata itu adalah sebuah harddisk eksternal. Aku langsung mengulurkan tangan untuk meraihnya. Tapi tanganku menembus harddisk itu.

"Kau gila ya?!" aku tersentak mendengar suara Jyesta dan langsung berbalik. Dan saat itu aku melihat, bukan Jyesta yang berbicara, melainkan seorang gadis berambut hitam lurus sebahu dan memakai kacamata. Ia mengenakan jas lab berwarna putih.
Dan yang lebih mengagetkan adalah wajahnya persis dengan Jyesta, hanya warna rambut mereka yang berbeda.
Gadis itu berjalan menembus tubuhku.

"Kamu yakin dengan hal itu?" ujar gadis itu.
Aku menatap ke arah orang yang ia ajak bicara.
Seseorang tampak sedang duduk di kursi hitam, ia sedang menundukkan kepalanya ke bawah meja.
Aneh, padahal aku yakin bahwa kursi itu tadinya kosong.

"Ya, aku yakin," jawabnya.
Aku mengenal suara itu..
Ia lalu menegakkan tubuhnya. Dan aku langsung menatap tidak percaya.
Dia itu aku.. Wajahnya, tubuhnya, suaranya. Bahkan cara ia memakai kerudung pun sama persis denganku. Aku tidak mungkin salah mengenali diriku sendiri.

"Apa maksudnya ini?" Tanyaku kepada Jyesta yang berambut pirang. Tapi ia hanya meletakkan jarinya didepan bibirnya, meminta aku untuk diam.

"Tapi kau tahu kan resikonya? Dia akan marah besar kalau semua ini terbongkar," ujar gadis berkacamata itu.

"Ya, aku sadar, Jyes. Tapi ini sudah kelewatan. Memenjarakan mereka semua disini dan membiarkan mereka tertidur lelap.. Keluarga mereka pasti khawatir," jawab diriku yang satu lagi. Ia nampak mengusap sebuah cincin perak di jari manisnya.

Tanpa sadar aku melihat jari manisku. Tidak ada cincin yang melingkar disana. Mendadak aku merasa sedih, aku ingat cincin itu sangat penting, walau aku tidak ingat siapa yang memberinya. Suara diriku yang lain membuyarkan lamunanku.

"Tapi aku butuh bantuanmu. Setidaknya kalau semua rencanaku tidak berjalan lancar, kau bisa menjadi satu-satunya yang mampu membantuku."

"Tapi.. Apa yang bisa kulakukan?" tanya gadis berkacamata itu.
"Masuk kedalam dunia itu, buatlah char yang unik, kamu bisa konsultasi ke bagian desain, Deris, Reza dan Santi pasti mau membantumu. Aku sudah minta bantuan mereka."

"Lalu apa rencanamu?"

Diriku yang lain memegang harddisk eksternal yang tadi aku coba sentuh.
"Saat ini, Khalil dan Fate sedang mempersiapkan stagenya. Erdit dan Fazari akan mencari jaringan yang aman dari luar dan mereka akan membantu Khalil dan Dwi untuk *hacking main program* agar bisa menyusupkan program ini. Sementara aku akan *login* untuk bertemu Pia dari NHX dan Sherlita serta Stellar dari Manga. Mereka sudah berjanji mau membantu dan melakukan hal yang sama." Diriku yang lain tersenyum sedih, "mudah-mudahan saja ini bukan *login* terakhirku," ujarnya sebelum semuanya menghilang dan kembali berganti menjadi ruangan putih.

"Ternyata kau ingat, Teju," Jyesta tampak terharu.
"Apa maksud semua itu?" tanyaku
"Itu adalah ingatanmu. Aku yakin pasti ada yang bisa memicu ingatanmu. Makanya aku membawamu ke tempat itu," jawabnya
"Tapi itu pasti salah,"tegasku, "aku cuma mahasiswa, tidak mungkin aku bekerja seperti itu!"
"Kamu ga inget, Teju?" Jyesta menatapku penuh tanda tanya. " Semenjak kejadian tiga bulan yang lalu, kamu kan ga sadarkan diri dan koma," sambungnya.

"Bohong! Itu.." tanpa sadar aku berteriak. "Ga, itu ga mungkin. Kemarin aku masih kuliah.. Ga mungkin."
Aku yakin Jyesta pasti berbohong tapi ada bagian dari diriku yang percaya bahwa itu benar.

Tiba-tiba wajah Jyesta terlihat tegang. Ia melihat sekelilingnya.
"Mereka sudah mulai mencariku, kamu sudah ga aman lagi disini. Sekarang, pergilah, Teju. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi," ujarnya perlahan.

"Tunggu dulu..." cegahku. Tapi sebelum aku sempat berkata lagi, ruangan di sekelilingku menjadi gelap gulita. Tidak berapa lama kemudian, aku merasakan rasa sakit di lenganku. Aku mengedipkan mata dan terbangun di klinik.

Aku melihat Sugar, Cherie, Arieth dan Ryocha berdiri mengelilingiku.
"Mum" Ryocha langsung memelukku. Sementara yang lain terlihat lega

Sabtu, 02 Maret 2013

Chapter 9 part 1

Chapter 9
My memories.. Is it mine?

Hal terakhir yang aku ingat sebelum aku pingsan adalah ketika Gyaboo dan Arietta memanggil namaku. Setelah itu semuanya menjadi gelap. Tapi ditengah kegelapan itu, aku melihat setitik cahaya. Aku mengikutinya dan mendapati diriku berada di ruangan serba putih. Ruangan yang biasanya aku kunjungi saat aku tertidur atau tidak sadarkan diri.

Tapi ada yang berbeda kali ini, aku tidak melihat diriku yang lain. Juga tidak ada lemari buku tempat aku menyimpan kenangan-kenangan yang aku dapat. Hanya sebuah ruangan putih yang luas dan tak berujung. Tidak ada pintu, jendela atau bahkan warna dinding lain selain putih.

Aku lalu berjalan menyusuri ruangan tersebut, mencoba mencari apakah ada jalan keluar dari ruangan serba putih ini.
Saat itu aku mendengar samar-samar suara seorang gadis.
"Maafkan Ryo, mum. Ryo malah pergi disaat mereka menuduh
mum pengkhianat hingga mum harus bertarung sendiri dan kehilangan semuanya."
Aku melihat sekeliling dan berteriak, " siapa?!"
Tapi tidak ada yang menjawab. Tidak ada satu orangpun yang muncul.
"Apa maksudmu, Ryo?" Terdengar suara gadis yang berbeda dari gadis yang tadi.
"Mum menghapus ingatan kita semua, ariett. Bahkan aku juga. "
"Tapi untuk apa?"
"Sepertinya dia berbuat itu hanya agar dianggap pahlawan sama kalian semua," kali ini terdengar suara seorang pemuda.
"Aku ga terima kamu bicara seperti itu tentang mum, tyo," ia terdengar marah.
"Hey, aku hanya mengatakan yang sejujurnya. Kalo memang dia menganggap kita semua temennya, kenapa dia harus melakukannya sendiri? Apa dia pikir, kita hanya menghambatnya? Atau mungkin dia hanya ingin mendapat pujian dari kita semua?" balas pemuda itu.
"Jangan pernah bicara seperti itu tentang mum!!"
Lalu terdengar suara gaduh dan seruan beberapa orang. Mungkin mereka coba melerai keduanya.
"Seperti mendengar sandiwara radio ya?" terdengar suara berbisik di telingaku.
Aku menoleh dan sempat mundur beberapa langkah karena kaget.